Rabu, 25 Juli 2007

Resensi Buku:


Masihkah Senyum Itu Untukku
Karya Hendra Veejay

Kuhadirkan kau ke dalam mimpi ini
Untuk setia mendengar cerita perjalananku
Tapi sampai saat ini kau hanya tersenyum
Padahal aku ingin kau menjawab
Mengapa aku masih harus mencintai kebaikan
Yang pada akhirnya juga akan sirna...

Sebait kata yang tertera pada sampul novel romantis itu menggambarkan judul buku, Masihkah Senyum Itu Untukku. Penggambaran yang manusiawi untuk sebuah kisah cinta. Kisah yang menautkan hati seorang Afrina Zakiah, perempuan gamang, dengan seorang Indra, muallaf introvert. Kini, biar rangkaian kata meringkas isi buku itu sebelum diulas sesuai kaidah resensi (halah..)

Adalah seorang Zaki yang masih menyimpan rasa terhadap seorang ikhwan di kampus, Irwan namanya. Hanya saja ikhwan tersebut suatu hari melamar sahabatnya dan keduanya menikah. Meninggalkan luka pada Zaki. Tapi, tak ada yang bisa disalahkan akan rasa hati. Zaki memutuskan untuk pulang kampung, cuti semester. Ia ingin menenangkan hatinya. Namun, di kampungnya ia dapati sesorot mata mirip Irwan, sorot mata yang seakan menjanjikan perlindungan. Pemilik sorot mata juga menyatakan rasa yang ada di hatinya pada Zaki. Keduanya menjalani rutinitas ‘pacaran islami’ yang secara logika syari’at tak dapat diterima.

Ketika semester baru akan dimulai, Zaki pergi dari kampungnya, meninggalkan Indra, pemilik sorot mata. Dalam perpisahan jarak itu keduanya saling mengucap dan mengungkap janji. Zaki dalam kegamangan yang semakin menama kala ia ada di kampusnya, di lingkungan saudara-saudara ikhwahnya. Akhirnya, meski cinta yang Zaki miliki terus mengada, tapi Zaki memutuskan untuk tak melanjutkan kisah cintanya dengan Indra.

Alur kisah yang dibuat sedemikian rupa sehingga pembaca tak merasa berjarak dengan tokoh (saya menangis meski bukan untuk kedua atau ketiga kalinya membaca....hiks...). Manusiawi sekali penggambaran hati Zaki dan Indra. Mungkin sekali ini kisah cerita yang terlihat picisan. Tapi, jangan lihat justifikasi dari segi syari’at. Lihatlah kisah ini dari segi kemanusiaannya. Bukan ingin mencari pembenaran, tapi sungguh seorang ikhwah sebaik apapun akan lemah kala berhadapan dengan hati. Sering kita berucap,”Putuskan atau lanjutkan sesuai syari’at” tapi perlakuannya tak semudah perkataan....

Untuk sastrawan atau yang suka pada sastra, saya anjurkan membaca buku ini. Subhanallah, indah! Bukan kisah dan sikap Zaki atau Indra yang memanggil CINTA pada masing-masing, tapi penggambaran dan penyikapannya. Mengajak kita agak keluar dari saklek nya sikap kita. Lebih memahami hati, itu intinya.


09.30 WIB
24 Juli 2007

Kiat-kiat membuat tulisan agar dinikmati orang yang membaca:



Fren, kita nggak selalu nulis untuk dikoleksi sendiri. Jujur, deh...iya,kan? Nah, berdasar pertanyaan seorang teman tentang menulis, saya pengen nyoba ‘nularin’ apa yang saya lakukan.

Nggak susah, kok, nulis. Yang penting MAU, MAMPU, dan SEMPAT. Kapan kita bisa tahu kalau kita mau? Sewaktu keinginan itu muncul. Bahkahn, sekelebat mimpi tentang sebuah kalimat yang ingin ditulis untuk seseorang saja sudah bisa dikategorikan mau. Lalu, mampunya? Wah, ini pertanyaan yang mudah dijawab. Kapan kita bisa menulis dan menyusun kata? Itulah masa yang disebut mampu. Lalu, kapan waktu untuk kata sempat? Ini lagi. Menurut saya, kita sempat ketika mau dan mampu itu muncul...kapan kita punya pulpen dan kertas atau keyboard dan monitor (dengan CPU tentunya)? Saat itulah kita bisa menulis...ups, sempat. Ya, tentunya lihat situasi dan kondisi juga....

Terus, gimana biar kita bisa ngembangin tulisan supaya orang minat untuk baca tulisan kita? Banyak yang nanya,”Punya buku kiat menulis?” atau “Ahli tentang psikologi bilang apa tentang tulisan?”

Jujur, nih, fren. Saya lebih cenderung setuju dengan kata-kata dosen saya (siapa?), Helvy Tiana Rosa, suatu saat ketika kami duduk santai ditemani mi ayam. Beliau berkata,”Kita nggak perlu banyak teori, tapi praktek” atau kata dosen lain,”Sulit kalau melihat teori, tapi belajarlah dari karya orang lain.”

Intinya, kalau kita terjun ke lapangan secara langsung, akan lebih mudah membantu kita menemukan kiat menulis.

Terakhir, nih. Saya punya satu pedoman dalam menulis: Jadi dirimu sendiri, temukan gayamu dalam menulis.

Ok, selamat berjuang lewat pena. Kalau ada yang punya kiat menulis lebih baik dari saya, menyanggah, atau menambah, langsung aja, ya, isi kolom komentar. Ok, fren. Saya tunggu perjuangan kita lewat pena. Kenapa kita? Karena saya juga akan berjuang lewat pena, nggak mau kalah dibanding kalian.
24 Juli 2007
10.42 WIB