Kamis, 14 Juni 2007

KETUA OH KETUA

“Arnold!”panggilku. Mestinya aku tak perlu memanggil dengan suara sekeras itu karena ruang sekretariat FRESH (Fraternity of ROHIS Membership) ini tak begitu luas, hanya 4x4 m2. Tapi, aku merasa harus memanggilnya begitu karena saat ini Arnold sedang asyik duduk di depan komputer ditemani suara Izzatul Islam yang melantunkan Mujahid Muda. Entah apa yang dikerjakannya. Yang pasti, aku agak senang saat melihat sosok tinggi kurus berkulit putih dan berkacamata minus itu beranjak dari duduknya, menghampiriku. Ia meninggalkan komputer yang masih menyala. Aku hanya berdiri di depan pintu karena tak mau masuk ke dalam ruangan asri ini. Bukan apa-apa, aku tak lama di sini. Lagipula, aku malas melepas sepatuku yang bertali.

“Kenapa, Kim? Buru-buru amat, sampai lupa salam,”tegurnya seraya mengulur tangan kanannya yang kuat meski kurus. Tangan yang sudah menolongku saat aku sendiri, terjerembab dalam narkotika. Kali ini aku hanya bisa nyengir kuda, aku benar-benar lupa mengucap salam! Kusambut uluran tangannya seraya mengucap salam yang kemudian dijawabnya. Kutatap layar komputer yang masih menyala, wajah Arnold, dan lembaran kertas di tangannya, bergantian.

“Lagi sibuk, Nold?”tanyaku akhirnya seusai proses pengamatan singkat.

“Iya. Surat untuk pembicara salah ketik hari. Aku lagi mau betulin...Kim, bisa cepat, nggak, ngomongnya?”jawabnya diakhiri kalimat tanya. Kuhela napas. Ya, meski Allah nggak suka dengan helaan napasku, tapi aku ingin melakukannya.

“Nanti saja. Biar kutunggu di sini. Selesaikan, cepat, Nold,”jawabku sedikit memerintah. Kulihat wajah lugunya sedikit menekuk—mungkin kesal olehku—sebelum berbalik dan duduk kembali di depan layar komputer. Aku duduk di kursi batu yang terletak di samping sekretariat, menunggunya. Kumainkan kunci motor seraya berpikir.

Arnold Amiruddin. Nama yang aneh, bukan? Kabar yang sempat kudengar, dulu ayahnya tergila-gila pada bunga Raflessia Arnoldi. Ada-ada saja. Tapi, nama keduanya, Amiruddin, telah menjadi kenyataan sekarang. Ya, Arnold saat ini menjadi seorang amir, ketua. Ketua panitia Baksos Rohis (BARIS), tentunya. Tapi, kenapa Arnold bisa sebegitu sibuk, ya? Sepertinya ketua-ketua panitia sebelumnya (termasuk aku) tak sampai begitu sibuk. Anehnya lagi, ke mana panitia yang lain? Apa kepanitiaan ini Cuma dipegang oleh Arnold? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Seolah setiap sel otakku saat ini sedang diatur untuk memikirkan Arnold dan kepanitiaan ini.

“Apa, Kim? Cepat, aku harus ke Ar-Rahman, nih,”tegur Arnold, membuyarkan lamunanku. Di tangannya sudah tergenggam sebuah amplop. Ar-Rahman adalah mesjid tempat kami, panitia BARIS, bertemu ustadz yang kami undang.

“Kenapa harus kamu, Nold? Humas ke mana?”tanyaku heran.

“Rapat OSIS,”jawabnya enteng. Apa? Mereka rapat OSIS dan kamu Cuma diam, membantu mereka, memanjakan mereka? Batinku dalam hati.

“Sudah, Nold. Aku saja yang sampaikan surat ini,”ujarku seraya mengulur tangan, meminta amplop yang dipegangnya.

“Tapi..”elaknya ragu. Segera kupotong dengan nada agak tinggi meski masih berusaha tenang. Kutahan emosiku.

“Sudah. Jalannya ‘kan ke arah rumahku. Lagipula, kamu masih ada PR, ‘kan?”ucapku. Perlahan, mungkin masih ragu, Arnold menyerahkan amplop itu padaku. Segera ia berterima kasih dan mengunci pintu sekretariat.

“Oh, iya, Kim. Tadi mau ngomong apa?”tanya Arnold sambil mengunci. Ups, hampir aku lupa.

“Iya, nanti malam aku mau ke rumahmu, belajar Geografi,”jawabku. Kulihat Arnold mengangguk, mengiyakan, lalu mengucap salam mendahuluiku. Kujawab salamnya dan kutatap punggungnya yang ditempeli ransel hitam hingga sosoknya hilang di kelokan koridor.

Setelah ia pergi, kuhampiri Supra-X hitamku membelah jalan senja itu. Matahari yang bersinar jingga di hadapanku seakan menunjuk ke arah m,ana aku harus melarikan motorku. Ya, Mesjid Jami’ Ar-Rahman ada di daerah barat daya jakarta Selatan. Kulirik jam tangan kesayanganku, pemberian Denis. Sudah pukul 17.30 rupanya. Masih adakah Ustadz Rahmat? Kuharap masih. Setahuku ia selalu mengajar ngaji anak-anak kecil seusai Ashar hingga Maghrib di mesjid tersebut. Semakin kupercepat laju Supra-X. Bismillah...

■■■

“Sekarang apa lagi, Nold?”tanyaku lagi saat kulihat Arnold mondar-mandir di hadapanku sambil terus menekan tombol-tombol di ponselnya. Seakan dunia hanya milik dia dan ponselnya, aku tak digubris. Namun, aku tak perlu menunggu lama karena wajah imut itu segera memandangku.

“Ini, percetakan-sablon,”jawabnya santai. Dialihkannya pandang kembali pada layar ponsel. Apa? Ini...

“Nold, itu bagi...”protesku yang segera dipotong oleh nada tenangnya.

“Aku punya kenalan. Lumayan, ‘kan, menekan biaya. Nanti sisanya bisa untuk anak jalanan,”sahutnya.

“Tapi...”elakku, tak terima. Aku ini, ‘kan, koordinator seksi publikasi.

“Lebih baik kamu latih anak-anak jalanan yang mau mengisi acara. Mereka sudah siap dari tadi di Mesjid Ar-Rahman,”ujarnya menjelaskan sekaligus memrintah. Entah kenapa, aku menangkap ketenangan dalam nada bicaranya. Meski masih agak kesal dan heran, terbersit kagum padanya.

“Iya, deh. Aku duluan. Assalamu’alaikum. Eh, di sana ada panji, ‘kan?”tanyaku akhirnya.

“Insya Allah ada,”jawabnya sambil tersenyum. Senyum yang menyejukkanku. Setelah kudengar jawaban salamnya, kuajak motorku ke Mesjid Ar-Rahman. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana.

Saat aku sampai, anak-anak jalanan itu tengah duduk-duduk di pelataran mesjid. Menungguku? Tanyaku dalam hati. Ternyata benar. Buktinya, mereka berlarian menghampiriku saat melihat aku turun dari sepeda motor. Selesai ritual pemarkiran sepeda motor, kuikuti mereka, kami berlatih di dalam mesjid. Ketika kutanya mengenai Panji, mereka menjawab bahwa Panji sudah pulang.

Di tengah latihan, kudengar nada Barisan Jihad dari ponselku berbunyi. Kusadari itu nada pengingfat pesan yang sudah ku-setting Segera kubaca pesan yang baru masuk.
ASW.TLG KRM NO.REKNING DAMAI VOICE.JZKLH.WSW

Begitu isi pesan singkat yang kubaca. Aisha yang mengirimnya. Akhwat keturunan Mesir itu masih aktif dalam kepanitiaan ini. Alhamdulillah, masih ada yang menemaniku dan Arnold. Sebentuk lengkung hiasi bibirku. Kubalas pesannya.

Tak lama kemudian, nada Islam Cinta Keadilan yang kudengar dari ponselku. Aku tak langsung menyadari kalau itu nada ponselku. Setelah agak lama, baru kuucap istighfar atas khilafku. Kuangkat telepon dan kudengar suara Aris.

“Assalamu’alaikum, Kim,”sapanya. Suara Aris terdengar lemah.

“Wa’alaikumsalam. Kenapa, Ris?”tanyaku usai menjawab salamnya.

“Aku nggak ketemu rumah Haji Amrulloh. Betul, nggak sih, alamat yang kamu kasih? Atau...aku ketemu kamu, deh. Sekarang kamu dimana?”tanyanya setelah didahului protes. Aku tersenyum dan kusebut nama mesjid tempatku berada. Tak perlu waktu lama untuk mendengar nada sibuk tanda telepon telah diputus olehnya. Aku terdiam sampai akhirnya kudengar lagi nada Barisan Jihad. Segera kubaca pesan yang baru masuk itu. Dari Arnold.

ASLM. TLG KRM NO.TELP CATERINGAN KMRN.WSLM

Lagi? Aku bingung dengan keadaan ini. Kenapa Arnold selalu mengambil alih? Apa aku harus bicara? Ah...

“kak Akim kenapa? Kakak belum nyetor, ya, sama Bos?”tanya salah seorang anak jalanan yang kutaksir umurnya sekitar tujuh tahunan. Aku tersenyum. Pertanyaan yang membuyarkan pikirku mengenai Arnold. Merewka memang lugu, Bos yang mereka maksud adalah Arnold. Memang, pernah mereka melihatku memberi dana pada Arnold.

“Nggak apa-apa, kok. Kalian latihan sendiri dulu, ya. Kak Akim ke depan sebentar,”jawabku akhirnya. Kuhentikan kegiatanku melatih anak-anak jalanan untuk sementara dan kulangkahkan kaki menuju pelataran mesjid, menunggu Aris.

Aku tak perlu menunggu lama. Aris datang dalam waktu yang tak membuatku mengantuk. Di belakangnya Aisha berjalan seraya menunduk. Segera kuajak ia duduk di salah satu sudut pelataran mesjid.

“Ris, aku mau bicara,”ujarku cepat. Aris menahanku, memberi isyarat bahwa kami sedang bertiga, dan Aisha termasuk teman dekatku, setelah Arnold dan Denis, tentu. Mengetahui hal itu, kupanggil Aisha dan mengajak keduanya lesehan. Kukeluarkan semua yang ada dalam hatiku mengenai Arnold dan kepanitiaan.

“Menurutku, kita lihat keadaannya sampai hari H. Siapa tahu yang lain memang sibuk,”ujar Aris. Kuanggukkan kepala meski ragu dengan apa yang diucapkan Aris.

“Lagipula, bisa saja itu Cuma pandangan kita,”sahut Aisha. Pikiran mereka hampir sama denganku, setidaknya itu tergambar dari tanggapan yang mereka utarakan.

Kulanjutkan tugasku bersama Aris, melatih anak-anak jalanan, sementara Aisha pulang setelah mendapat lembaran deskripsi kerja panitia untuk hari H. Selesai sholat Ashar, latihan kami hentikan. Senja seakan mengingatkan kami untuk melaksanakan kewajiban kami sebagai pelajar, pulang untuk mempelajari kembali materi pelajaran. Besok malam panitia ikhwan akan mabit di balairung.

■■■

Sudah jam sepuluh. Mana yang lain? Arnold, kita nggak salah hari, ‘kan?”tanyaku. Malam ini, seperti yang ditetapkan, panitia ikhwan mabit demi menyiapkan acara esok hari. Kulihat Arnold masih asyik dengan gunting dan karton.

“Daripada mondar-mandir nggak ada juntrungan begitu, mending kamu bantu aku sama Denis,”nasehat Arnold yang kelihatannya gemas melihatku mondar-mandir di podium.

“Kim, antum data inventarisasi saja. Nilai Administrasinya bagus, ‘kan?”ujar Denis lembut. Denis, satu-satunya ikhwan yang paling terlihat ke-ikhwan-annya di antara ikhwanikhwan FESH lainnya. Wajahnya yang begitu teduh bagiku, membuatku nyaman dan aman bersamanya. Begitu juga yang dirasa Arnold, ucap Arnold suatu saat. Penampilan Denis layaknya ikhwan. Celana di atas mata kaki, jenggot tipis, senyum simpati, sudah begitu dia hapal 2 juz AlQuran. Berbeda dengan kami yang masih ikhwan gadungan. Dialah panutan kami. Segera kuberlari menuju ruang sekretariat, menuruti nasehat Denis. Kutelan ludahku ketika melihat tumpukan kertas setinggi sekitar satu meter. Setelah kubaca sekilas, ternyata itu adalah makalah dan data mengenai anak jalanan.

Sepuluh menit kemudian, Aris datang. Segera kuminta bantuannya mendata semua kertas dan souvenir yang ada di ruangan itu. Setelah Aris, temanteman bergerombol datang untuk membantu kami. Kudengar balairung sangat berisik karena temanteman masih sempat bergurau. Mungkin itu usaha menghilangkan kantuk mereka.

“Sudah jam duabelas, nih. Aku tidur dulu,ya. Tuh, Arnold sudah tidur,”ujar Aris setelah melihat sejenak ke layar ponselnya. Sepertinya ia melihat jam. Kulihat Arnold sudah berbaring di podium. Aku yang sedang menempel tulisan di karton segera menghentikan kegiatan. Sejak kapan Arnold di situ?tanyaku dalam hati. Sudahlah. Toh ia sudah terlalu lelah. Aku juga bersiap untuk tidur. Kurapikan karton dan kertas bersama peralatan lainnya. Segera kuberbaring, tak jauh dari Arnold. Bismillah...

■■■

Sekitar pukul 03.00, aku terbangun karena ada suara gesekan. Setelah ‘nyawa terkumpul’, kulihat Arnold sedang menata kursi-kursi.

“Arnold,”panggilku dengan suara sedikit rendah. Arnold menoleh, seakan mencari sumber suara yang menyebut namanya. Kuulangi memanggilnya seraya menghampiri.

“Sudah bangun? Wudhu, sana. Tahajjud,”ujarnya.

“Kamu sudah?”tanyaku. Kulihat Denis membantunya, menggeser kursi-kursi. Saat itu aku sudah berdiri di hadapan Arnold. Kudapat jawaban berupa anggukan kepala Arnold. Segera kutunaikan ibadahku, lalu membantu Arnold dan Denis. Teman-teman bangun sekitar pukul 03.30, membantu kami bekerja sampai Aris mengumandangkan adzan subuh.

■■■

Di tengah acara, Denis menghampiriku.

“Kim, tolong kasih ini ke Arnold,”ujarnya seraya memberiku satu strip tablet.

“Apa, nih? Arnold kenapa?”tanyaku tak mengerti. Setahuku Arnold nggak sakit.

“Ini vitamin,”jawab Denis singkat. Aku semakin tak mengerti.

“Maksudnya?”tanyaku lagi.

“Antum nggak tahu? Arnold Cuma istirahat sebentar. Semalam, saat ana bangun sekitar jam satu, dia sudah sibuk dengan kursi,”ujar Denis menjelaskan. Ini benar-benar keterlaluan! Jerit batinku. Segera kuterima tablet itu dan kuberikan pada Arnold tanpa komentar sama sekali. Akan kutanyai teman-teman saat evaluasi acara, batinku lagi.

Manusia memang harus berencana dan merencanakan sesuatu sebaik-baiknya. Tapi, rencana tinggal rencana. Allah yang berhak menentukan. Di awal evaluasi acara, Arnold tumbang. Segera kuhampiri tubuhnya.

“Arnold! Innalillah. Teman-teman, aku bawa Arnold ke sekretariat dulu,”ujarku pada teman-teman. Dibantu Denis, kubaringkan Arnold di tikar yang ada dalam ruang sekretariat. Ya Allah, suhu badannya meningkat. Ini nnggak wajar.

“kak Akram sebentar lagi datang. Aku ambil air es dulu,”ujar Denis cepat. Dsia sudah menghubungi Kak Akram, alumni sekolah kami yang sdah meraih gelar sarjana di Fakultas Kedokteran salah satu universitas negeri di Indonesia. Kini ia menjadi dokter umum. Yang kukhawatirkan, bagaimana kalau di kliniknya Kak Akram sedang menangani pasien?

Ya Allah, semoga dengan adanya kejadian ini Arnold bisa mengambil hikmah. Bagaimanapun, dia saudaraku. Semoga saja yang dilakukannya dilatari kekhilafan. Doaku kemudian.

Tak perlu waktu lama untuk mendapati Kak Akram di hadapan kami. Setelah memeriksa keadaan Arnold, Kak Akram memintaku membeli obat dan bubur.

“Ini resepnya. Sepertinya di dekat sini ada apotek,”pesan Kak Akram.

“Kak, Arnold kenapa?”tanyaku saat melihat Arnold terbaring.

“Maaf, Kim. Arnold terkena gejala tipes. Doakan supaya dia sembuh dan bisa ngambil hikmah,ya,”ujar Kak Akram menjelaskan. Apa? Arnold? Segera kularikan Supra-X dengan gigi satu. Aku ingin secepatnya kembali berada di samping Arnold.

Aku tak perlu mencari jauh untuk mendapatkan bubur ayam. Dekat balairung ada sebuah warung makan. Ketika aku kembali, kulihat panitia akhwat berdiri mengerumun di depan ruang sekretariat. Kulewati mereka. Eh, banyak yang menangis? Kenapa? Seluruh panitia ikhwan berkerumun di sekitar tempat kubaringkan Arnold.. ada apa ini? Kuamati wajah teman-temanku. Seakan ada mendung menggelayuti mereka. Ada apa ini? Belum sempat kubertanya pada seseorang di antara mereka, Denis sudah menarikku melewati kerumunan, menuju tempat Arnold.

“Den...”panggilku terpotong oleh tatapannya yang seolah mengisyaratkan aku harus diam dan ikut saja. Meski dengan hati yang tak karuan, kuikuti Denis. Ya Allah, jangan sampai dugaanku ini nyata. Kusiapkan diriku untuk melihat kenyataan.

Betapa terkejutnya aku saat melihat Arnold sedang bersalaman dengan ikhwan lainnya. Bahkan, beberapa di antara mereka nyata sembap di kedua mata. Ada apa ini?batinku. Kuhampiri Arnold segera.

“Nold...”panggilku terbata. Sudah berapa kali kupanggil orang hari ini? Tubuh klurus itu terlihat semakin tirus di mataku. Arnold berusaha bangun, menyambutku. Aku yang tak mau menyusahkan Arnold segera merendahkan tubuhku, terlebih dulu memeluknya.

“Maaf, Kim. Kak Akram dan Denis tadi ngingetin aku. Selama ini aku terlalu memforsir tenaga. Padahal, kita tahu Allah nggak suka yang berlebihan, meski itu ibadah. Maaf, kim. Maaf, teman-teman,”ucap Arnold. Kualihkan pandangku pada Denis dan Kak Akram. Mereka membentuk lengkung manis di bibir mereka.

“Nold, maafin Hakim yang nggak secepatnya ngasih tahu,”sahutku.

Tidak ada komentar: